Selasa, 24 Desember 2013

Ucapan dan Menjadi Bagian Perayaan Natal dan Agama Lain: Konsep Toleransi yang Keliru

Desember berkelip hamppir di seluruh sudut kota di dunia. Bahkan di Indonesia sekalipun yang notabene negeri muslim terbesar di dunia. Muncul pertanyaan bersama, benarkah seperti ini bentuk sebuah toleransi beragama.

Berbagai aksesoris perayaan natal tiba-tiba menghiasi semua pusat perbelanjaan. Bukan hanya tempat yang diubah dengan nuansa natal, tapi para pegawai pun memakai kostum yang mencirikan perayaan umat kristiani tersebut. Yang miris, ketika mereka yang berkerudung pu turut menggunakan atribut natal.

Di luar itu, masih ada media elektronik yang sangat vokal meramaikan natal dengan berbagai programnya. Dalam dunia bisnis, seolah ada gerakan yang menginginkan momen natal seperti Idul Fitri. Sehingga penjualan dapat meningkat drastis dengan menggunakan berbagai cara, misalnya diskon bertabur hadiah dan sebagainya.

Begitulah gambaran yang ada di tengah-tengah masyarakat kita, mengartikannya sebagai konsep toleransi. Banyak orang yang menganggap sekedar mengenakan asesoris natal bukanlah hal yang dapat menggoyahkan akidah. Pun demikian halnya dengan mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, sebagaimana kaum nasrani sering malekukannya ketika Idul Fitri.

Sementara itu, jika kita telisik, ucapan selamat mengandung doa dan harapan kebaikan bagi yang diberi selamat. Ucapan tersebut juga dapat berarti ungkapan kegembiraan terkait dengan suatu hal (natal).

Perayaan natal sendiri pada hakikatnya adalah sebuah peringatan akan kelahiran anak Tuhan. Dengan kata lain, ketika seorang muslim turut berbahagia dengan perayaan tersebut dan memberi pengakuan dengan ucapan selamat, hal tersebut berarti adanya pengakuan terkait dengan keberadaan anak Tuhan. Sementara dalam Islam tidak ada satu pun konsep penyekutuan terhadap Allah SWT.

Kita ingat jelas arti surat Al-Ikhlas ayat 1-4 yang menyatakan dengan tegas ke-Esaan Allah, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada yang menyerupai dengan-Nya.

Kita tentunya masih ingat dengan fatwa yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, diantaranya menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

Bukan hanya fatwa MUI yang mengharamkan, buku Tanya Jawab Agama Jilid II, yang dikeluarkan Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, terbitan Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, juga merangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram.

Selain masalah akidah dan pengakuan, alasan kedua adalah bahwa natal merupakan bagian dari ajaran agama dan ritual nasrani. Ketika seorang muslim turut dalam perayaan tersebut atau menjadi bagian, maka sama halnya ia telah melakukan ritual agama lain dan bisa jadi ia telah murtad.

Ketiga, tentu kita masih ingat pesan Rasulullah SAW, kita dilarang menyerupai (tasyabbuh) kaum non-muslim (kafir). Ikut menjadi bagian dalam perayaan natal sudah jelas itu adalah sebuah kesalahan besar. Selain tidak boleh menghadiri Natal Bersama, kaum Muslim juga dilarang ikut menyemarakkan, meramaikan atau membantu mempublikasikan.

Imam Baihaqi menyatakan, “Kaum Muslimin diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.”

Al-Qadhi Abu Ya’la berkata, “Kaum Muslimin telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”.

Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslimin dilarang untuk merayakan hari raya kaum musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).

Tidakkah kita ingai firman Allah:

﴿وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ﴾

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (TQS al-Baqarah [2]: 120)

Jadi, mengucapkan selamat Natal dan selamat hari raya agama lain adalah haram dan dosa. Apalagi ikut merayakannya, tentu lebih haram dan lebih berdosa. Ikut merayakan Natal dan hari raya agama lain hukumnya jelas haram dan bertentangan dengan al-Quran.

Apalagi yang menjadi pembenaran untuk kita mengucapkan dan turut dalam perayaan agama non Islam? Padahal MUI telah mengharamkannya. Ini bukanlah sebuah toleransi dalam pemaknaan Islam, tapi ini adalah upaya pluralisme dan bentuk eksistensi nasrani.

Miris, ketika kita melihat kepala negeri ini yang katanya muslim, masih mencari-cari alasan ketika menghadiri Perayaan Natal Bersama. Padahal MUI dengan sangat jelas mengatakan tanpa adanya hak istimewa.

Akidah muslim seharusnya dijaga dengan ketegasan pemimpinnya melalui sebuah konsep negara yang mampu melindungi akidah muslim. Tidak ada pemerintahan yang berani memberikan sanksidan lantang mengharamkan bagi muslim yang turut dalam bagian perayaan agama lain, kecuali pemerintahan dengan sistem Islam seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

**Septi Nurdiyanti,

Mahasiswa Jurnalistik Fikom dan Aktivis LDK DKM Unpad,

Tidak ada komentar: