Minggu, 30 Maret 2014

Penyempitan Makna Politik dalam Pandangan Masyarakat


Perlombaan memperebutkan kursi jabatan sudah lama menjadi agenda negeri ini. Bukan hanya tataran secara nasioal, tapi tataran desa pun disibukkan dengan euforia perlombaan ini. Konsekuensinya, persaingan tak sehat bermain dan sudah bukan menjadi rahasia lagi. Misalnya dengan menjatuhkan lawan politik, bermain uang, sampai menggandeng koloni dengan janji yang menguntungkan bagi kroni saat telah mejabat nanti.

Permainan uang bukanlah tradisi masyarakat kita, sebelum para politisi menanamkkan tradisi baru ini ke tengah-tengah masyarakat yang hilang arah. Hilang arah tanpa induk, tanpa sosok pemimpin yang mengayomi dan menjamin kesejahteraannya. Pragmatisme terhadap pemaknaan politik hanya sebatas panggung kekuasaan saja. Sementara masyarakat kita sudah cukup muak dengan para politisi kotor yang mengotori politik.

Belum lagi berkaitan dengan masalah janji politik yang seakan-akan menguap tanpa sisa ditelan waktu. Tak ada lagi upaya pemenuhann janji politik sebagaimana yang dibawa saat kampanye. Yang ada hanyalah kesibukkan membusungka dada sebagai pejabat dan menggodog kebijakan-kebijakan untuk kepentingan balas jasanya pada sponsor atau demi mencari muka kepada asing.

Hingga pada akhirnya wajar jika masyarakat putus asa dan menjadikan perhelatan politik sebagai sarana mendulang manfaat sementara. Misalnya dengan menjadi tim sukses, juru kampanye, atau sekedar menerima uang dari para caleg. Kondisi yang nyata-nyata terjadi di depan mata kita di panggung demokrasi, sebuah ajang yang dikatakan banyak orang merupakan sistem terbaik atas kebinekaan Indonesia.

Namun demokrasi adalah sebuah hal yang utopis untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Sistem semacam ini, sudah terbukti melanggengkan dan meningkatkan kadar kerusakan di bumi pertiwi ini. Bukan hanya itu, orang baik-baik pun ketika terlibat dalam panggung ini akan terkontaminasi keburukan yang telah sistemik menjalar ke semua lini.

Pandangan politik yang sempit dan asas manfaat menjadikan makna politik semakin menyempit dan terlihat sangat kotor. Sejatinya politik adalah bagaimana mengurusi urusan setiap individu manusia dalam naungan sebuah negara. Bagaimana memastikan setiap individu memiliki pakaian, dapat makan, dan terpenuhi semua kebutuhan primer lainnya termasuk pendidikan dan kesehatan. 

Rasullullah pernah bersabda tentang kewajiban pemimpin sebuah negara;
“Imam (khlaifah) adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas (urusan) rakyatnya” (HR al-Bukhari) –Dalam riwayat Muslim-: “dan amir yang memimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas (urusan) rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim)

Jika saat ini kita melihat satu pejabat dengan pejabat yang lain saling menghujat atas sebuah kebijakan. Tak berselang akan ada pihak yang dikambing hitamkan, itu adalah satu lagi bukti nyata kegagalan sistem dan apa yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Maka fitrahnya haruslah kembali kepada aturan Pencipta yang memiliki jiwa-jiwa kita.  Aturan tersebut tidak lain adalah Islam dengan syari’atnya. Menapaki jalan Rasulullah dalam menegakkan Islam melalui jalan daulah Islamiyah atau negara Islam.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb.


Tidak ada komentar: