Jumat, 01 November 2013

Masjid Unpad, Masjid Intelektual Bicara Pergerakkan dalam Sekolah Pergerakkan Mahasiswa Indonesia 2013

Sekolah Pergerakkan Mahasiswa Indonesia (SPMI) terdengar keras di telinga sebagian besar mahasiswa. Namun berbeda halnya dengan tanggapan antusias para aktivis mahasiswa yang jumlahnya dapat diitung dengan jari. Pasalnya, acara yang diselenggarakan Bedan Eksekutif Mahasiswa Unpad ini tidak lebih dihadiri dari 35 orang. Apalagi sekolah pergerakkan ini konon bertajuk nasiona, setidaknyal dengan peserta asal Aceh, Riau, Lampung, Pontianak, Solo, Depok, dan Bandung. Pergerakkan, sebuah kata yang identik dengan semangat juang dalam membela keadilan. Sebuah hal yang seakan semakin tabu di tengah-tengah mahasiswa Indonesia pada umumnya. Menciri berbagai karakteristik mahasiswa memang akhirnya jauh dari aksi kepedulian dan bergerak. Saat ini hanya segelintir mahasiswa saja yang terlibat aktif dalam keorganisasian ‘penggerak peradaan’. Di antara mahasiswa yang tak turut, segelintir dari mereka yang study oriente. Selebihnya ‘nge-happy’, nongkrong, karaokean, dan travelling. Hal tersebut jelas dapat jelas terlihat dengan minimnya partisipasi mahasiswa dalam SPMI. Merujuk pergerakkan mahasiswa Indonesia yang mampu nenurunkan rezim otoriter, SPMI mencoba membekali peserta didiknya menjadi tokoh pergerakkan militan. Mulai dari forum grup discusion (FGD) tentang kondisi mahasiswa dan kampus sampai dialog bersama aktivis pergerakkan. Baik pada masanya, maupun mereka yang juga masih aktif sampai saat ini. Sebut saja Hatta, namanya begitu terkenang pada masanya. Namun usia senja tak menyurutkan api semangatnya sebagai pentolan aktivis pergerakkan di masanya. Semangatnya yang masih menyala bersamaan dengan setiap kata yang ia sampaikan dalam materi pembuka Jumat malam (25/10). Hatta yang juga dosen senior psikologi Unpad ditemani Firman dan Arif sebagai pembicara. Diskusi pada malam itu berlangsung cukup panas. Berbicara masalah problematika yang terjadi di Indonesia, mulai dari korupsi sampai pergerakkan yang mulai lesu. Juga bagaimana banyaknya pergerakkan mahasiswa yang digerakkan atas dana ‘sponsor’ pemangku kepentingan. Gambaran yang diberikan menjadikan potret Indonesia semakin buram di mata para peserta SPMI. Kemudian berujung pada pertanyaan sistem atau orangnya. Disebutkan oleh Hatta,orangnyalah yang salah. Muncul pertanyaan yang disampaikan, “Mengingat apa yang disebutkan dosen saya, tidak ada kawan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi. Setiap orang memiliki kepentingan, sehingga rawan mereka melakukan kesalahan. Namun bukannya orangnya juga yang membuat sistem, tentunya berlandaskan kepentingan? Sehingga sistem pun pada akhirnya juga salah.” Diskusi dilanjutkan esok harinya dengan pemateri seorang aktivis mahasiswa, Syamsul Maarif. Dalam pemaparannya, ia berbicara masalah manajemen gerakan dalam analisis SWOT. Bagaimana menjadikan kekurangan yang ada dalam diri mahasiswa menjadi kelebihan yang semakin menguatkan pergerakan. Melegalkan penjualan gerakan adalah aksi yang ia suntikkan selanjutnya. Ketika konten apa yang ingin diperjuangkan sesuai dengan partai tertentu misalnya, ia menyebutkan halal saja dilakukan. “Halal secara gerakan, toh tidak mencuri,”katanya. Pertanyaan membucah terkait isu penjualan gerakan. Penjualan gerakan sendiri dapat dilakukan kepada partai, ormas, atau kalangan berkepentingan tertentu hanya untuk mendapatkan dana. Penjualan gerakan semacam ini pada akhirnya semakin mengikis idealisme dan independensi mahasiswa dari praktek politik praktis dan cabangnya. Dengan pengkritisan semacam itu, pembicara memberikan solusi untuk kemandirian para aktivis. Berbicara mengenai gerakkan, sulit dilepaskan dari media. Sebab gerakan seringkali menjadi objek hangat bagi pemberitaan media. Namun faktanya di lapangan justru media pun terkadang berperan mempelopori kerusuhan. Tentu ini demi sudut pandang berita yang lebih menarik. Di luar semua itu, rata-rata mahasiswa dalam melakukan gerakkan tidak memberikan keterangan yang utuh kepada wartawan. Baik itu dalam segi undangan maupun press release yang mereka bagikan. Di samping peran media massa, senarnya mahasiswa juga memiliki peran dalam publikasi gerakkan. Tentunya untuk lebih mendapatkan respon atas aksi yang dilakukan. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan menuliskannya kemudian menyiarkannya sendiri. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari perkembangan media yang dapat diakses siapapun, bahkan gratis. Misalnya facebook, blogger, dan sebagainya. Aksi semacam ini dalam dunia jurnalisme disebut sebagai citizen journalism atau jurnalisme warga. Menuliskan aksi pergerakkan sama halnya dengan menuliskan sejarah masa depan. Terlebih dengan balutan jurnalisme akan memiliki nilai yang cukup tinggi. Hanya saja tentu di sini diperlukan ilmu bagaimana membuat berita yang baik. Inilah pelajaran yang diberikan kepada peserta SPMI dengan menghadirkan Nurjaman Mochtar, pemimpin redaksi Indosiar dan Sctv, serta dosen dan praktisi, Rana Akbari (26/10). Bergerak adalah sebuah respon atas stimulus yang diberikan. Baik berupa stimulus positif maupun negatif. Namun respon akan jauh lebih besar ketika stimulus yang diberikan adalah stimulus negatif. Misalnya adalah terkait hak asasi manusia yang banyak menjadi stimulus negatif bagi sebuah pergerakkan. Di sini dapat pulapergerakkan berperan sebagai upaya advokasi kaum tertindas untuk mendapatkan hak maupun perlindungan. Secara garis besar inilah yang disampaikan Muh. Sidarta dan Heri Aryanto. Bergerak dari Padepokan Madani di Lembang Bandug, peserta SPMI diarak ke Bale Sawala Rektorat Unpad Jatinangor. Launching buku belajar merawat Indonesia yang pula menghadirkan Ahmad Mansyur Suryanegara sebagai salah satu pembicara seolah menebus kekecewaan peserta SPMI. Pasalnya, pembicara-pembicara utama yang dijanjikan panitia tak seperti fakta di lapangan. Tak ada Andrian A. Chaniago, Marwan Batubara, Andi Rahmat, Maruar Sirait, Ridwan Kamil, Hariman Siregar, Fajroel Rahman sebagai pembicara. Dalam kesempatannya, delegasi Masjid Unpad, Masjid Intelektual angkat bicara tentang mahasiswa sebagai insan intelektual. Di mana ia tidak boleh pragmatis dengan solusi tertentu. Mencoba melirik dan mempelajari Islam sebagai pemecah masalah menjadi jalan yang direkomendasikan. Masjid Unpad, Masjid Intelektual juga turut angkat bicara tentang pergerakkan. Sebab Islam mengajarkan banyak hal kepada siapa saja yang mau belajar. Termasuk bagaimana thariqoh penegakkannya yang telah dicontohkan Rasulullah. Hanya Islam-lah pemecah masalah yang akan mengantarkan kehidupan ini diridhoi Allah dan menjadikan peradaban dengan akhlak. ***sk*** Septi Nurdiyanti (Hubungan Antar Lembaga Keputrian LDK DKM Unpad)

Tidak ada komentar: