Perlombaan memperebutkan kursi
jabatan sudah lama menjadi agenda negeri ini. Bukan hanya tataran secara
nasioal, tapi tataran desa pun disibukkan dengan euforia perlombaan ini.
Konsekuensinya, persaingan tak sehat bermain dan sudah bukan menjadi rahasia
lagi. Misalnya dengan menjatuhkan lawan politik, bermain uang, sampai
menggandeng koloni dengan janji yang menguntungkan bagi kroni saat telah
mejabat nanti.
Permainan uang bukanlah
tradisi masyarakat kita, sebelum para politisi menanamkkan tradisi baru ini ke
tengah-tengah masyarakat yang hilang arah. Hilang arah tanpa induk, tanpa sosok
pemimpin yang mengayomi dan menjamin kesejahteraannya. Pragmatisme terhadap
pemaknaan politik hanya sebatas panggung kekuasaan saja. Sementara masyarakat
kita sudah cukup muak dengan para politisi kotor yang mengotori politik.
Belum lagi berkaitan dengan
masalah janji politik yang seakan-akan menguap tanpa sisa ditelan waktu. Tak
ada lagi upaya pemenuhann janji politik sebagaimana yang dibawa saat kampanye. Yang
ada hanyalah kesibukkan membusungka dada sebagai pejabat dan menggodog
kebijakan-kebijakan untuk kepentingan balas jasanya pada sponsor atau demi
mencari muka kepada asing.
Hingga pada akhirnya wajar
jika masyarakat putus asa dan menjadikan perhelatan politik sebagai sarana
mendulang manfaat sementara. Misalnya dengan menjadi tim sukses, juru kampanye,
atau sekedar menerima uang dari para caleg. Kondisi yang nyata-nyata terjadi di
depan mata kita di panggung demokrasi, sebuah ajang yang dikatakan banyak orang
merupakan sistem terbaik atas kebinekaan Indonesia.
Namun demokrasi adalah
sebuah hal yang utopis untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Sistem semacam
ini, sudah terbukti melanggengkan dan meningkatkan kadar kerusakan di bumi
pertiwi ini. Bukan hanya itu, orang baik-baik pun ketika terlibat dalam
panggung ini akan terkontaminasi keburukan yang telah sistemik menjalar ke
semua lini.
Pandangan politik yang sempit
dan asas manfaat menjadikan makna politik semakin menyempit dan terlihat sangat
kotor. Sejatinya politik adalah bagaimana mengurusi urusan setiap individu
manusia dalam naungan sebuah negara. Bagaimana memastikan setiap individu
memiliki pakaian, dapat makan, dan terpenuhi semua kebutuhan primer lainnya
termasuk pendidikan dan kesehatan.
Rasullullah pernah bersabda
tentang kewajiban pemimpin sebuah negara;
“Imam (khlaifah) adalah pemelihara
dan dia bertanggungjawab atas (urusan) rakyatnya” (HR
al-Bukhari) –Dalam riwayat Muslim-: “dan amir yang memimpin
masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas (urusan) rakyat yang
dipimpinnya.” (HR Muslim)
Jika saat ini kita melihat satu pejabat dengan pejabat yang lain saling
menghujat atas sebuah kebijakan. Tak berselang akan ada pihak yang dikambing
hitamkan, itu adalah satu lagi bukti nyata kegagalan sistem dan apa yang
dihasilkan oleh sistem tersebut. Maka fitrahnya haruslah kembali kepada aturan
Pencipta yang memiliki jiwa-jiwa kita.
Aturan tersebut tidak lain adalah Islam dengan syari’atnya. Menapaki
jalan Rasulullah dalam menegakkan Islam melalui jalan daulah Islamiyah atau
negara Islam.
Wallâh a’lam
bi ash-shawâb.